Keharusan Hijab di Iran: Antara Hukum Islam dan Aturan Sosial

Isu hijab wajib di Iran sejak lama menjadi bahan perbincangan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Banyak yang mempertanyakan: “Mengapa perempuan Iran harus berhijab? Bukankah Al-Qur’an menyatakan ‘tidak ada paksaan dalam agama’ (لا اکراه فی الدین)?”

Untuk menjawab pertanyaan ini, sejumlah ulama dan pemikir Islam di Iran memberikan penjelasan yang menarik terkait konsep hijab dan aturan berpakaian.



Hijab Wajib atau Pakaian Wajib?

Menurut penjelasan Hujjatul Islam Raji, sering terjadi kesalahpahaman ketika orang menyebut Iran memberlakukan hijab wajib. Yang sebenarnya berlaku adalah aturan berpakaian wajib (dress code).

Hijab dalam definisi Islam berarti menutup aurat sesuai syariat: rambut perempuan tidak boleh terlihat, lengan hingga pergelangan tangan tidak boleh terbuka, dan pakaian harus menutup tubuh secara pantas. Namun, aturan yang diterapkan di Iran bukan sekadar penegakan hijab total, melainkan aturan batasan minimum berpakaian di ruang publik.

Sebagai contoh, jika ada perempuan yang sedikit terlihat rambutnya, tidak serta-merta ia ditangkap polisi. Hal ini menunjukkan bahwa aturan di Iran bukanlah paksaan mutlak terhadap hijab, melainkan kewajiban berpakaian sesuai norma publik.

Pakaian Wajib Berlaku di Seluruh Dunia

Raji menegaskan bahwa aturan berpakaian berlaku di seluruh dunia, bukan hanya di Iran. Misalnya, ketika seorang perempuan di Belanda melakukan aksi membuka kerudung, ia tidak berani menanggalkan seluruh pakaiannya di ruang publik. Mengapa? Karena hukum Belanda tetap menganggap ketelanjangan total sebagai pelanggaran pidana.

Contoh lain datang dari Kanada, ketika sejumlah siswi protes karena aturan berpakaian di sekolah. Polisi turun tangan, bahkan beberapa siswi ditangkap. Fakta ini menunjukkan bahwa di mana pun, negara atau institusi selalu memiliki aturan tentang berpakaian.

Artinya, Iran tidak berbeda dengan negara lain yang mengatur batas minimal kesopanan dalam berbusana. Bedanya, Iran sebagai negara Islam mendasarkan aturan tersebut pada syariat Islam.

Apakah Bertentangan dengan “La Ikrah fi al-Din”?

Sebagian orang berpendapat bahwa pemaksaan hijab bertentangan dengan ayat “tidak ada paksaan dalam agama”. Namun, para ulama menjelaskan bahwa ayat tersebut berbicara tentang keyakinan, bukan tentang aturan sosial.

“Tidak ada paksaan dalam agama” berarti seseorang tidak bisa dipaksa untuk beriman. Akan tetapi, begitu seseorang hidup dalam suatu masyarakat, ia tetap harus mengikuti aturan yang berlaku, sebagaimana hukum di negara mana pun.

Contohnya, di Vatikan, perempuan non-Katolik tetap diwajibkan menutup kepala ketika berkunjung. Bahkan Melania Trump, istri mantan Presiden AS, memakai kerudung ketika bertemu Paus, meski ia bukan Muslim. Hal ini menunjukkan bahwa aturan berpakaian di tempat tertentu berlaku universal, terlepas dari keyakinan pribadi.

Kesimpulan

Aturan hijab di Iran lebih tepat disebut aturan berpakaian publik yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Sama seperti negara lain yang melarang ketelanjangan atau pakaian tidak pantas di ruang publik, Iran menerapkan standar yang sesuai dengan identitasnya sebagai negara Islam.

Dengan demikian, polemik tentang “hijab wajib” sebaiknya dipahami dalam konteks hukum sosial dan budaya, bukan hanya dalam perspektif kebebasan individu. [hawzah.net]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenjang Karir Pelajar Agama di Iran: Dari Talabeh hingga Akhund dan Seterusnya

Mengapa Perbedaan Hari Lahir Rasulullah Disebut Minggu Persatuan di Iran?

Ilmu di Bintang Soraya dan Orang Persia: Dari Hadis Hingga Kenyataan di Iran