Dual Legitimasi: Menyelami Fondasi Teoritis Kepemimpinan dalam Konstitusi Iran
Sistem politik Republik Islam Iran seringkali menjadi bahan perdebatan dan analisis. Salah satu aspek yang paling fundamental namun kerap disalahpahami adalah konsep legitimasi yang mendasari kepemimpinannya. Banyak yang melihatnya semata-mata sebagai sistem teokrasi, namun penyelaman yang lebih dalam terhadap Konstitusi Iran justru mengungkap sebuah teori yang kompleks dan unik: Teori Legitimasi Ganda atau Wilayatul Faqih Ilahi-Mardomi (Kepemimpinan Faqih yang Ilahi dan Rakyati).
Artikel ini akan membedah bagaimana Konstitusi Iran merangkul dua sumber legitimasi yang tampaknya berbeda—kehendak Ilahi dan kedaulatan rakyat—menjadi sebuah sistem yang koheren.
Dua Pilar Penopang: Legitimasi Ilahi dan Rakyati
Teori legitimasi ganda ini berpendapat bahwa kepemimpinan dalam sistem Iran berdiri di atas dua pilar yang kokoh:
- Legitimasi Ilahi (Masyru'iyyat-e Elahi): Pilar ini bersumber dari keyakinan agama Syiah Itsna Asyariyah. Dalam ketiadaan Imam Mahdi yang gaib, otoritas kepemimpinan (Wilayah) dialihkan kepada seorang Faqih (ahli hukum Islam) yang memenuhi syarat-syarat tertentu (seperti keadilan, kesalehan, keahlian hukum, dan kecakapan managerial). Kekuasaannya dianggap berasal dari mandat Ilahi.
- Legitimasi Rakyati (Masyru'iyyat-e Mardomi): Pilar ini menekankan peran vital rakyat dalam memberikan mandat dan penerimaan terhadap kepemimpinan tersebut. Rakyatlah yang, melalui mekanisme elektoral, memberikan "legalitas" dan "keberterimaan" (acceptance) terhadap sosok pemimpin yang dianggap memenuhi syarat-syarat Ilahi tadi.
Kombinasi ini tertuang dalam Pembukaan dan banyak pasal dalam Konstitusi Iran.
Bukti dalam Konstitusi: Sebuah Harmoni
Konstitusi Iran tidak hanya mengakui kedua legitimasi ini tetapi juga menjalinnya secara harmonis. Berikut adalah beberapa contohnya:
- Pasal 1 & 2: Pasal 1 menegaskan bahwa Republik Islam didirikan atas kehendak rakyat Iran melalui referendum (legitimasi rakyati). Pasal 2 menyatakan bahwa sistem ini berdasarkan keyakinan pada "kepemimpinan yang terus-menerus" (Imamah dan Wilayatul Faqih) serta martabat dan nilai manusia (yang mencakup kebebasan bertanggung jawab), sekali lagi menggabungkan kedua unsur.
- Pasal 5 & 107: Pasal-pasal ini menyatakan bahwa kepemimpinan di era kegaiban Imam Mahdi dipegang oleh seorang Faqih yang adil dan memenuhi syarat (legitimasi Ilahi). Namun, penunjukan Faqih ini tidak otomatis. Majelis Pakar (Khobregan), yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat, bertugas mengidentifikasi dan memilih sosok yang paling memenuhi kriteria tersebut (legitimasi rakyati).
- Sumpah Anggota Majelis Pakar: Teks sumpah anggota Majelis Pakar sangat jelas mencerminkan dualitas ini. Mereka bersumpah untuk menjaga "amanah yang diserahkan rakyat" sekaligus menjaga "jabatan Ilahi" dan "nikmat agung Ilahi" yang merupakan kepemimpinan tersebut.
- Pasal 110 (Wewenang Pemimpin): Pasal ini mencantumkan wewenang luas Pemimpin, seperti memimpin angkatan bersenjata dan mengangkat kepala yudikatif (cerminan otoritas Ilahi). Namun, wewenangnya juga dibatasi oleh konstitusi—sebuah kontrak sosial—dan dalam hal tertentu (seperti memberhentikan Presiden) memerlukan persetujuan lembaga perwakilan rakyat (Majelis) (legitimasi rakyati).
- Pasal 177 (Amandemen Konstitusi): Mekanisme amandemen konstitusi juga dirancang untuk melindungi kedua prinsip ini. Syaratnya, setiap perubahan tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip Islam (legitimasi Ilahi) dan prinsip Republik (legitimasi rakyati). Hasil amandemen juga harus disetujui oleh Pemimpin dan diputuskan melalui referendum nasional.
Legitimasi Rakyati: Partisipasi Aktif dalam Sistem
Konstitusi tidak hanya berbicara tentang Pemimpin. Banyak pasal yang menjamin dan mendorong partisipasi rakyat, yang memperkuat pilar legitimasi rakyati:
- Pemilihan Presiden, Anggota Parlemen (Majelis), dan Anggota Dewan-Dewan lokal secara langsung.
- Hak berserikat, berkumpul, dan kebebasan pers (dalam koridor hukum).
- Kewajiban pemerintah untuk menciptakan partisipasi aktif rakyat dalam menentukan nasibnya.
Kesimpulan: Sebuah Simbiosis, Bukan Kontradiksi
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem politik Iran tidak dapat disederhanakan hanya sebagai teokrasi murni atau demokrasi sekuler. Konstitusinya merancang sebuah model unik di mana kehendak Ilahi dan kedaulatan rakyat tidak dipertentangkan, tetapi disatukan.
Legitimasi Ilahi memberikan kerangka nilai, tujuan akhir, dan syarat moral bagi pemimpin. Sementara legitimasi rakyati memberikan mekanisme praktis, kontrol, dan keabsahan duniawi melalui partisipasi dan pemilihan. Pemimpin memperoleh otoritasnya dari mandat agama, tetapi ia menjalankannya atas dasar mandat dan pengawasan yang diberikan oleh rakyat melalui konstitusi dan lembaga-lembaga perwakilan mereka.
Dengan demikian, teori Wilayatul Faqih Ilahi-Mardomi bukanlah sekadar wacana, tetapi merupakan jiwa yang hidup dalam naskah Konstitusi Republik Islam Iran, menjadi fondasi bagi hubungan antara pemimpin, negara, dan rakyatnya. [hawzah.net]

Komentar
Posting Komentar